Homili dalam Terang KHK Kanon 767


“Iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh sabda Kristus” (Rm 10:17). Rasul Paulus dengan tepat mengungkapkan bagaimana mulanya proses beriman terjadi. Iman bermula dari telinga yang mendengar sabda Kristus. Dari telinga, sabda Kristus lalu masuk ke kepala di mana akal budi mencerna isi sabda. Kemudian sabda itu turun ke hati dalam sikap percaya dan penyerahan diri. Seterusnya, sabda tersebut diserukan oleh mulut dalam pengakuan iman, diaktualkan oleh tangan dan kaki dalam tindakan penyembahan dan perbuatan baik.

Lantaran iman itu bermula dari pendengaran akan sabda Kristus, maka sabda Kristus itu haruslah diwartakan. Di dalam Gereja, pewartaan sabda Kristus itu lazim dilakukan dengan homili. Melalui homili, sabda Kristus diteruskan kepada umat beriman dengan penjelasan yang segamblang-gamblangnya, supaya umat beriman mengerti dengan baik misteri-misteri iman yang dinyatakan oleh Allah melalui Kristus. Dari penerusan sabda Kristus inilah Gereja dibangun dan bertumbuh.

Tulisan ini bermaksud untuk menggali segi-segi pokok dalam Homili sebagaimana yang termuat dalam Kitab Hukum Kanonik 767. Kanon 767 itu sendiri ada dalam buku III “Tugas Gereja Mengajar”, khususnya dalam bab I “Pewartaan Sabda Allah”. Tugas Gereja mengajar adalah unsur konstitutif yang dipercayakan oleh Kristus kepada Gereja. Melaluinya, Gereja menunjukkan dan menuntun tiap orang pada kebenaran-kebenaran iman yang menyelamatkan di dalam Kristus. Kebenaran iman itu ada dalam Kitab Suci yang merekam kabar baik tentang pewahyuan diri Allah dan rencana keselamatan-Nya bagi manusia. Gereja diutus untuk mewartakan kabar baik tersebut, dan homili adalah cara yang pasti bagi Gereja untuk meneruskan kabar baik dari Allah bagi tiap orang.

Apa itu Homili?

Secara harfiah, kata “homili” berasal dari kata Yunani, yakni homilia yang berarti percakapan dalam suasana akrab dengan pribadi lain.[1] Dalam lingkungan Gereja, istilah homilia pertama kali dipakai dan dipopulerkan oleh Origenes. Ia mengartikan homilia sebagai penjelasan isi Kitab Suci yang dimaklumkan dalam perayaan. Tujuan penjelasan itu adalah memahami pesan-pesan rohani dengan kesimpulan–kesimpulan praktis  untuk dihayati, baik dalam perayaan maupun dalam hidup sehari-hari.[2]

Merujuk pada pengertian Origenes, bisa dikatakan bahwa homili selalu merujuk pada penjabaran Kitab Suci dalam konteks perayaan iman. Dalam PUMR 65 ditandaskan lagi bahwa “homili merupakan bagian dari liturgi dan sangat dianjurkan, sebab homili itu penting untuk memupuk semangat hidup Kristen”. Karena itu, penting untuk diperhatikan bahwa homili berbeda dengan kotbah. Kotbah memiliki artian yang lebih luas dan digunakan dalam konteks di luar ibadah, sedangkan konteks homili terbatas pada perayaan liturgi Gereja. Ia adalah bagian utuh dari liturgi (bdk. SC 52). Karena Kristus hadir dalam tiap upacara liturgi Gereja, maka saat homili adalah saat di mana Kristus berbicara kepada umat-Nya melalui pelayan tertahbis dalam roh dan kebenaran.

Mengapa harus Homili?

Kan 767 § 1 “Di antara bentuk-bentuk khotbah, homililah yang paling unggul, yang adalah bagian dari liturgi itu sendiri..”

Sudah dikatakan di atas bahwa homili tidak bisa dilepaskan dari liturgi. Dan justru karena itulah kedudukan homili lebih unggul daripada kotbah. Liturgi itu sendiri adalah puncak dari kehidupan Gereja. Dari Liturgi, terutama dari Ekaristi, mengalirlah sumber rahmat yang dicurahkan kepada tiap orang beriman, dan darinya diperoleh pengudusan manusia serta pemuliaan Allah dalam Kristus (bdk. SC 10). Dalam upacara liturgi Gereja, khususnya Ekaristi, homili masuk dalam bagian liturgi sabda (bagian yang lain adalah liturgi Ekaristi di mana kurban Kristus di salib dihadirkan kembali secara nyata). Puncak dari liturgi sabda adalah pemakluman Injil Suci. Homili mengalir dari puncak ini sebagai penjabaran atau pengejawantahan sabda Injil yang dibacakan dalam perayaan liturgi.

Homili mempertegas pesan tertentu dari sabda Allah yang telah dimaklumkan dan yang sesuai dengan konteks liturgi serta konteks hidup para percaya. Homili menjelaskan pesan khusus itu agar menjadi lebih konkret.[3] Tepat di sinilah letak kepentingan homili. Homili lahir dalam konteks liturgi di mana sabda Allah dari Alkitab dibacakan kepada jemaat. Sabda Allah itu harus di-hari ini-kan karena jemaat percaya bahwa Allah berbicara kepada mereka ketika Alkitab dibacakan (bdk. Luk 4:16-22, 23-30).[4]

Lebih jauh, SC 35 menandaskan “Homili merupakan pewartaan keajaiban-keajaiban Allah dalam sejarah keselamatan atau misteri Kristus yang selalu hadir dan berkarya di tengah kita, teristimewa dalam perayaan-perayaan liturgi”. Dengan demikian, jelaslah bahwa kepentingan dari homili adalah menjelaskan dan mengaktualkan karya keselamatan Allah yang terjadi pada masa lampau, sebagaimana yang tertulis di dalam Kitab Suci, namun sekarang ini menjadi nyata di tengah umat beriman. Hal ini dilakukan agar setiap orang yang mendengar pewartaan akan sabda Allah menjadi percaya dan memperolah hidup kekal (bdk. Yoh 20:31).

Siapa yang Berhak Membawakan Homili?

Kan 767 § 1 “..(Homili) direservasi bagi imam atau diakon..”.

Kan 767 § 1 menggariskan bahwa pelaksanaan homili direservasi/dikhusukan bagi imam atau diakon. Pernyataan yang serupa ditegaskan pula dalam PUMR 66, “Pada umumnya yang memberikan homili ialah imam pemimpin perayaan. Ia dapat menyerahkan tugas ini kepada salah seorang imam konselebran, atau kadang-kadang, tergantung situasi, kepada diakon, tetapi tidak pernah kepada seorang awam”. Kepada para awam, kanon hanya memperkenankan mereka untuk berkotbah, entah itu di dalam gereja atau di ruang doa, dengan catatan: dalam situasi tertentu kebutuhan menuntutnya atau dalam kasus-kasus khusus manfaat menganjurkannya demikian, menurut ketentuan-ketentuan Konferensi Para Uskup (bdk. Kan 766).

Pertanyaanya sekarang, “Mengapa hanya para klerus (imam atau diakon) saja yang berhak untuk berhomili?” Jawaban dari pertanyaan ini harus digali dari tugas dan fungsi dari seorang klerus yang menerima sakramen tahbisan. Dengan tahbisan, seorang klerus dipersatukan secara istimewa dengan Kristus sendiri dan dikhususkan untuk tugas pelayanan di dalam Gereja. Lantas apa tugas pelayanan klerus itu? PDV 26 menulis demikian, “Imam (atau diakon) itu pertama-tama pelayan Sabda Allah. Ia ditahbiskan serta diutus untuk mewartakan Kabar Baik tentang Kerajaan Allah kepada semua orang, untuk memanggil setiap pribadi kepada ketaatan iman, dan untuk membimbing umat beriman kepada pengertian kian mendalam akan misteri Allah yang diwahyukan dan disampaikan kepada kita dalam Kristus, dan kepada persekutuan makin erat di dalam misteri itu” (bdk. pula OT 4).

Pernyataan yang senada juga ditegaskan di dalam kanon 762, “Oleh karena umat Allah dihimpun pertama-tama oleh sabda Allah, yang sangat patut diperoleh dari mulut para imam, maka…tugas mereka yang utama adalah mewartakan Injil kepada semua orang”. Dengan demikian, jelaslah bahwa homili adalah tugas yang diemban oleh para klerus yang mengalir dari jabatan imamat mereka. Sebagaimana Kristus mewartakan sabda Allah kepada setiap orang, demikian jugalah para klerus mewartakan kabar sukacita Injil kepada tiap orang.

Mereka telah dipilih oleh Yesus Kristus sendiri dari antara umat untuk memberitakan karya keselamatan Allah. Karena pemilihan dan pengutusan inilah maka kata-kata dan tindakan dari para klerus, termasuk berhomili, dianggap sebagai tindakan Kristus sendiri sebab kesatuan mereka dengan Kristus. kesatuan ini memberi jaminan bahwa homili para klerus adalah homili Kristus sendiri yang sedang menguduskan umat-Nya.[5] Melalui homili, seorang klerus  membagi-bagikan atau menyuguhkan santapan kehidupan dari meja sabda Allah bagi umat yang beribadat.[6]

Sementara itu, harus ditambahkan pula bahwa di antara para klerus, tugas untuk mewartakan sabda Allah dalam homili menjadi tanggung jawab yang pasti bagi para pastor kepala paroki. Demikian Kan 528 § 1 menulis, “Pastor-paroki terikat kewajiban untuk mengusahakan agar sabda Allah diwartakan utuh kepada orang-orang yang tinggal di paroki; maka hendaknya ia mengusahakan agar kaum beriman kristiani awam mendapat pengajaran dalam kebenaran iman, terutama dengan homili yang harus diadakan pada hari-hari Minggu dan hari-hari raya wajib…”

Bagaimana Homili Dibawakan?

Kan 767 § 1 “..dalam homili itu hendaknya dijelaskan misteri-misteri iman dan norma-norma hidup Kristiani, dari teks suci sepanjang tahun liturgi.”

Tugas homili adalah memperlihatkan seluruh sejarah keselamatan Allah bagi manusia yang tetap berlangsung hingga kini. Yang diwartakan di dalam homili adalah karya penyelamatan Allah lewat Yesus Kristus yang berpuncak  pada penderitaan, wafat, dan kebangkitan-Nya serta pengutusan Roh Kudus yang senantiasa mendampingi Gereja-Nya. Allah sudah, sedang, dan masih terus menyelamatkan umat-Nya.[7] Dalam Kan 767 § 1, pewartaan karya penyelamatan Allah itu menyangkut dua aspek penting dalam hidup beriman, yakni: (1) penjelasan tentang misteri-misteri iman; (2) pemaparan tentang norma-norma hidup Kristiani.

Sumber pewartaan itu sendiri tak lain adalah Kitab Suci. Mengapa Kitab Suci? Konstitusi tentang Liturgi Suci menegaskan bahwa homili bersumber dari Kitab Suci dan Liturgi yang sedang dirayakan (SC 35) sebab homili adalah pewartaan yang tegas-jelas atas karya keselamatan Allah yang dikerjakan turun-temurun dan berpuncak pada Yesus Kristus dan yang sedang dirayakan dalam upacara liturgi tertentu.[8] Kitab Suci yang dihomilikan adalah Kitab Suci yang dibacakan pada saat perayaan liturgi dilangsungkan. Dari situlah homili harus bertitik tolak. Dalam PUMR 65 ditulis bahwa “Homili itu haruslah merupakan penjelasan tentang bacaan dari Alkitab, ataupun penjelasan tentang teks lain yang diambil dari ordinarium atau proprium Misa hari itu, yang bertalian dengan misteri yang dirayakan, atau yang bersangkutan dengan keperluan khusus umat yang hadir”.

Mengenai penggalian isi Kitab Suci, DV 12 menandaskan bahwa “untuk menggali dengan tepat arti nas-nas suci, perhatian yang sama besarnya harus diberikan kepada isi dan kesatuan seluruh Alkitab, dengan mengindahkan Tradisi hidup seluruh Gereja serta analogi iman”. Dengan demikian, dalam pewartaan tentang kehadiran dan karya keselamatan Allah yang disaksikan oleh Kitab Suci, si pembawa homili perlu untuk melihat keterkaitan dan keutuhan misteri iman yang disaksikan dalam Kitab Suci dan yang telah diwartakan secara berkelanjutan dalam Tradisi.

Sementara itu, patut pula diingat bahwa tugas homili adalah untuk meng-kini-kan sabda Allah dalam teks Kitab Suci yang dibacakan pada saat perayaan liturgi berlangsung, maka dalam homili, situasi kehidupan umat beriman setempat perlu untuk diggali dan dilihat dalam perspektif sabda Allah yang telah dibacakan. Hal ini dilakukan agar umat beriman, dalam situasi hidupnya, merasa disap, disentuh, ditegur, dan digerakkan oleh sabda Allah yang telah mereka dengarkan. Karena itu, si pembawa homili hendaknya menguraikan sabda Allah secara umum dan abstrak saja, melainkan dengan menerapkan kebenaran Injil yang kekal pada situasi hidup yang konkrit (bdk. OT 4).

Kapan Homili Dibawakan?

Kan 767 § 2 “Dalam semua misa pada hari-hari Minggu dan hari-hari raya wajib yang dirayakan oleh kumpulan umat, homili harus diadakan dan tak dapat tidak, kecuali ada alasan berat”.

Kan 767 § 3 “Jika cukup banyak umat yang berkumpul, sangat dianjurkan agar diadakan homili, juga pada perayaan Misa harian, terutama pada masa adven dan prapaskah atau pula pada kesempatan suatu pesta atau peristiwa duka”.

Kanon 767 § 2 jelas menyatakan bahwa homili harus diadakan pada misa saat hari Minggu dan hari-hari raya wajib yang dirayakan umat. Pada hari Minggu dan hari-hari raya wajib Gereja itulah umat beriman diwajibkan untuk ambil bagian dalam misa (bdk. Kan 1247). Dan, pada kesempatan itulah imam yang menjadi pemimpin misa berkewajiban untuk menguraikan misteri iman yang sedang dirayakan sambil juga memberikan norma-norma hidup Kristiani kepada umat yang hadir.

Kita mungkin bertanya, sebegitu pentingkah hari Minggu dan hari-hari raya lain sehingga umat diwajibkan untuk menghadiri misa dan imam yang memimpin diharuskan pula untuk memberikan homili? Dalam SC 106 ditandaskan demikian:

“Berdasarkan Tradisi para Rasul yang berasal mula pada hari Kebangkitan Kristus sendiri, Gereja merayakan misteri Paskah sekali seminggu, pada hari yang tepat sekali disebut Hari Tuhan atau hari Minggu. Pada hari itu Umat beriman wajib berkumpul untuk mendengarkan sabda Allah dan ikut serta dalam perayaan Ekaristi, dan dengan demikian mengenangkan Sengsara, Kebangkitan dan kemuliaan Tuhan Yesus, serta mengucap syukur kepada Allah, yang melahirkan mereka kembali ke dalam pengharapan yang hidup berkat Kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati (1Ptr 1:3). Demikianlah hari Minggu itu pangkal segala hari pesta”.

Menjadi jelas di sini bahwa hari Minggu amat penting dalam Gereja, sebab pada hari itulah Gereja mengenangkan peristiwa Paskah Tuhan kita Yesus Kristus daan menghadirkan kembali kurban Paskah Yesus yang memberikan kita pengharapan hidup yang kekal. Sementara itu, pada hari-hari raya wajib yang lain, Gereja mengajak umat beriman untuk merayakan satu persatu misteri keselamatan yang telah dianugerahkan kepada kita. menurut kanon 1246 § 1, hari-hari raya wajib Gereja itu adalah:  “hari Kelahiran Tuhan kita Yesus Kristus, Penampakan Tuhan, Kenaikan Tuhan, Tubuh dan Darah Kristus, Santa perawan maria Bunda Allah, Santa Perawan Maria dikandung tanpa noda, dan Santa Perawan Maria diangkat ke surga, Santo Yusuf, Rasul Petrus dan Paulus, dan akhirnya hari raya Semua Orang Kudus”.

Selain kewajiban berhomili pada hari Minggu dan hari-hari raya wajib Gereja, kanon 767 § 3 juga menganjurkan bagi tiap imam yang memimpin Misa untuk berhomili pada perayaan Misa harian, terutama pada masa adven dan prapaskah atau pula pada kesempatan suatu pesta atau peristiwa duka. Tujuannya jelas, supaya umat beriman mendapat peneguhan iman dan kesegaran rohani dari pewartaan sabda Allah. Pun pula, umat Allah sejatinya dihimpun pertama-tama oleh sabda Allah yang hidup, yang sangat patut diperoleh dari mulut para imam (Kan 762).

Akhir kata, penulis ingin kembali menegaskan bahwa homili merupakan pewartaan iman yang penting dalam liturgi. Homili mengalir dari pemakluman Kitab Suci dalam liturgi sabda. Oleh karena itu, Kitab Suci harus menjadi jiwa dari homili. Imam atau diakon, sebagai pembawa homili yang lazim, patut untuk menyadari tugasnya sebagai seorang pelayan sabda yang meneruskan sabda Allah dengan menjelaskan misteri-misteri iman dan norma-norma Kristiani yang menjadi tuntutan hidup bagi umat beriman. Karena itu, para klerus, terutama pastor-paroki, harus memastikan agar pelaksanaan homili pada tiap hari Minggu dan/atau hari-hari wajib Gereja serta pula perayaan-perayaan liturgis lainnya terus berjalan dengan baik demi pertumbuhan iman dan hidup rohani dari umat beriman.

Daftar Pustaka

Dokumen Konsili Vatikan II, terj. R. Hardawiryana (Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI). Jakarta: OBOR, 2002.

Pareira, Berthold Anton, O.Carm. Homiletik: Bimbingan Berkotbah. Malang: Dioma, 2004.

Kitab Hukum Kanonik, terj. R. Rubiyatmoko (Ed.). Jakarta: Konferensi Waligereja Indonesia. 2009.

Komisi Liturgi KWI. Homiletik: Panduan Berkotbah Efektif. Yogyakarta: Kanisius, 2011.

Paulus II, Yohanes. Pastores Dabo Vobis, terj. R. Hardawiryana. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1992.

Pedoman Umum Misale Romawi, terj. Komisi Liturgi KWI. Ende: Nusa Indah, 2009.


[1] Bernardus Boli Ujan, SVD, “Pengertian, Sejarah Singkat, dan Tempat Homili dalam Liturgi”, dalam Komisi Liturgi KWI, Homiletik: Panduan Berkotbah Efektif, Yogyakarta: Kanisius, 2011, hlm. 15.

[2] Ibid., hlm. 16.

[3] Ibid., hlm. 33.

[4] Berthold Anton Pareira, O.Carm, Homiletik: Bimbingan Berkotbah, Malang: Dioma, 2004, hlm 13.

[5] Mateus Mali, CSsR, “Teologi Homili”, dalam Komisi Liturgi KWI, Homiletik: Panduan Berkotbah Efektif, Yogyakarta: Kanisius, 2011, hlm. 57.

[6] Berthold Anton Pareira, O.Carm, Op. Cit., hlm. 6.

[7] Mateus Mali, CSsR, Op. Cit., hlm. 71-72.

[8] Ibid., hlm. 77.

Tinggalkan komentar